Secara bahasa (etimologi), Ibadah berarti merendahkan diri serta tunduk. Sedangkan menerut syara’ (terminologi), ibadah mempunyai banyak definisi tetapi yang paling lengkap yaitu, Ibadah adalah sebutan yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan diridhai Allah Azza wa Jalla, baik ucapan atau perbuatan, yang zhahir maupun yang bathin.
Ibadah itu dibangun atas tiga pilar, yaitu: hubb (cinta), khauf (takut), raja’ (harapan). Didalam setiap ibadah harus terkumpul atasnya pilar-pilar tersebut. Allah berfirman:
“…Adapun orang-orang yang beriman sangat besar cintanya kepada Allah…” (Q.S Al-Baqarah: 165)
“..Sungguh mereka bersegera dalam (mengerjakan) kebaikan dan mereka berdo’a kepada Kami dengan penuh harap dan cemas. Dan mereka orang-orang yang khusyu’ kepada kami.” (Q.S Al-Anbiyaa’:90)
Ibadah merupakan perkara tauqifiyah, yaitu tidak ada suatu bentuk ibadah yang disyariatkan kecuali berdasarkan Al-qur’an dan As-sunnah. Apa yang tidak disyari’atkan maka perbuatan tersebut tertolak, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Barang siapa yang beramal tanpa adanya tuntunan dari kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR Muslim no. 1718 (18) dan Ahmad IV/146; 180; 256, dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha)
Agar dapat diterima ibadah disyariatkan harus benar. Dan ibadah itu tidak bisa benar kecuali dengan terpenuhinya dua syarat:
Ikhlas karena Allah azza wa Jalla semata, bebas dari syirik besar dan kecil.
Ittiba’, sesuai dengan tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.
Syarat yang pertama merupaka konsekuensi dari syahadat laa ilaaha illallaah, karena ia mengharuskan ikhlas dalam beribadah hanya untuk Allah dan jauh dari Syirik kepada-Nya. Sedangkan syarat kedua adalah konsekuensi dari syahadat Muhammad Rasulullah, karena ia menuntut wajibnya taat kepada Rasul, mengikuti syari’atnya dan meninggalkan ibadah-ibadah yang diada-adalan (baca:bid’ah).
Allah berfirman:
“Tidak! Barang siapa menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah, dan dia berbuat baik, dia mendapat pahala di sisi Rabbnya dan tidak ada rasa takut pada diri mereka dan mereka tidak bersedih hati.” (QS. Al-Baqarah: 112)
“Menyerahkan diri” artinya memurnikan ibadah kepada Allah. “Berbuat kebajikan” artinya mengikuti Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan: “Inti agama ada dua pilar yaitu kita tidak beribadah kecuali hanya kepada Allah, dan kita tidak beribadah kecuali dengan apa yang Dia syari’atkan, tidak dengan perkara-perkara yang baru.
Sebagaimana Allah berfirman:
“…Maka barang siapa mengharap pertemuan dengan Rabbnya maka hendaklah dia mengerjakan kebajikan dan janganlah dia mempersekutukan dengan sesuatu pun dalam beribadah kepada Rabbnya.” (QS. Al-Kahfi: 110)
Yang demikian adalah manifestasi (perwujudan) dari dua kalimat syahadat Laa ilaaha illallaah, Muhammad Rasulullaah.
Pada yang pertama, kita tidak beribadah kecuali kepada-Nya. Pada yang kedua, bahwasanya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utusan-Nya yang menyampaikan ajaran-Nya. Maka kita wajib membenarkan dan mempercayai beritanya serta mentaati perintahnya. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan bagaimana cara kita beribadah kepada Allah, dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita dari hal-hal yang baru dalam agama. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan bahwa setiap hal-hal baru dalam agama adalah sesat.” (Lihat al-‘Ubuudiyyah hlm 221-222 oleh Syaikhul Islam Ibnu Taymiyyah, tahqiq: ‘Ali Hasan ‘Ali ‘Abdul Hamid)
Ibadah dalam islam tidak disyari’atkan untuk mempersempit atau mempersulit manusia, dan tidak pula untuk menjatuhkan mereka dalam kesulitan. Akan tetapi ibadah itu disyariatkan untuk berbagai hikmah yang agung, kemaslahatan besar yang tidak dapat dihitung jumlahnya. Pelaksanaan ibadah didalam islam semua mudah.
Diantara keutamaan ibadah bahwasanya ibadah mensucikan jiwa, membersihkan hati, dan mengangkatnya ke derajat tertinggi menuju kesempurnaan manusia.
Biarlah perkataan Imam Malik Rahimahullah yang sangat inidah berikut ini menutup tulisan ini. Imam malik Berkata, “Barang siapa membuat perkara baru dalam urusan umat ini yang tidak pernah berada di atasnya generasi pertama umat ini, maka ia telah mengira bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alalihi wa sallam berkhianat dalam menyampaikan risalah Allah Azza wa Jalla ini, karena Allah Azza wa Jalla telah berfirman:
“Pada hari ini telah kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah kucukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah kuridhi Islam itu menjadi agama bagimu.” (QS. Al-Maa’idah: 3)
Maka perkara-perkara yang bukan termasuk urusan agama pada waktu itu, berarti bukan termasuk urusan agama pula pada zaman sekarang ini. Keadaan akhir umat ini tidaklah menjadi baik kecuali dengan apa yang membuat generasi pertama umat ini menjadi baik.” (lihat Syarah Ushulus Sunnah Keyakinan Al-Imam Ahmad dalam Aqidah hlm 41-42 oleh Syaikh Walid bin Muhammad Nubaih, Pustaka Darul Ilmi)
Wallahu ‘alam bish-showab
Semoga Bermanfaat.
*Diringkas dari Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah (hlm 185-190) Bab kesembilan: Pilar-pilar Ibadah dalam Islam, oleh Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Pustaka Imam Asy-Syafi’i, dengan sedikit penambahan (pada bagian akhir, yakni; perkataan Imam Malik) dari kitab Syarah Ushulus Sunnah Keyakinan Al-Imam Ahmad dalam Aqidah (hlm 41-42) oleh Syaikh Walid bin Muhammad Nubaih, Pustaka Darul Ilmi.
.
Penulis: Wahyu Jatmiko
Manajemen UI – 2010
Ibadah itu dibangun atas tiga pilar, yaitu: hubb (cinta), khauf (takut), raja’ (harapan). Didalam setiap ibadah harus terkumpul atasnya pilar-pilar tersebut. Allah berfirman:
“…Adapun orang-orang yang beriman sangat besar cintanya kepada Allah…” (Q.S Al-Baqarah: 165)
“..Sungguh mereka bersegera dalam (mengerjakan) kebaikan dan mereka berdo’a kepada Kami dengan penuh harap dan cemas. Dan mereka orang-orang yang khusyu’ kepada kami.” (Q.S Al-Anbiyaa’:90)
Ibadah merupakan perkara tauqifiyah, yaitu tidak ada suatu bentuk ibadah yang disyariatkan kecuali berdasarkan Al-qur’an dan As-sunnah. Apa yang tidak disyari’atkan maka perbuatan tersebut tertolak, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Barang siapa yang beramal tanpa adanya tuntunan dari kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR Muslim no. 1718 (18) dan Ahmad IV/146; 180; 256, dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha)
Agar dapat diterima ibadah disyariatkan harus benar. Dan ibadah itu tidak bisa benar kecuali dengan terpenuhinya dua syarat:
Ikhlas karena Allah azza wa Jalla semata, bebas dari syirik besar dan kecil.
Ittiba’, sesuai dengan tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.
Syarat yang pertama merupaka konsekuensi dari syahadat laa ilaaha illallaah, karena ia mengharuskan ikhlas dalam beribadah hanya untuk Allah dan jauh dari Syirik kepada-Nya. Sedangkan syarat kedua adalah konsekuensi dari syahadat Muhammad Rasulullah, karena ia menuntut wajibnya taat kepada Rasul, mengikuti syari’atnya dan meninggalkan ibadah-ibadah yang diada-adalan (baca:bid’ah).
Allah berfirman:
“Tidak! Barang siapa menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah, dan dia berbuat baik, dia mendapat pahala di sisi Rabbnya dan tidak ada rasa takut pada diri mereka dan mereka tidak bersedih hati.” (QS. Al-Baqarah: 112)
“Menyerahkan diri” artinya memurnikan ibadah kepada Allah. “Berbuat kebajikan” artinya mengikuti Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan: “Inti agama ada dua pilar yaitu kita tidak beribadah kecuali hanya kepada Allah, dan kita tidak beribadah kecuali dengan apa yang Dia syari’atkan, tidak dengan perkara-perkara yang baru.
Sebagaimana Allah berfirman:
“…Maka barang siapa mengharap pertemuan dengan Rabbnya maka hendaklah dia mengerjakan kebajikan dan janganlah dia mempersekutukan dengan sesuatu pun dalam beribadah kepada Rabbnya.” (QS. Al-Kahfi: 110)
Yang demikian adalah manifestasi (perwujudan) dari dua kalimat syahadat Laa ilaaha illallaah, Muhammad Rasulullaah.
Pada yang pertama, kita tidak beribadah kecuali kepada-Nya. Pada yang kedua, bahwasanya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utusan-Nya yang menyampaikan ajaran-Nya. Maka kita wajib membenarkan dan mempercayai beritanya serta mentaati perintahnya. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan bagaimana cara kita beribadah kepada Allah, dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita dari hal-hal yang baru dalam agama. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan bahwa setiap hal-hal baru dalam agama adalah sesat.” (Lihat al-‘Ubuudiyyah hlm 221-222 oleh Syaikhul Islam Ibnu Taymiyyah, tahqiq: ‘Ali Hasan ‘Ali ‘Abdul Hamid)
Ibadah dalam islam tidak disyari’atkan untuk mempersempit atau mempersulit manusia, dan tidak pula untuk menjatuhkan mereka dalam kesulitan. Akan tetapi ibadah itu disyariatkan untuk berbagai hikmah yang agung, kemaslahatan besar yang tidak dapat dihitung jumlahnya. Pelaksanaan ibadah didalam islam semua mudah.
Diantara keutamaan ibadah bahwasanya ibadah mensucikan jiwa, membersihkan hati, dan mengangkatnya ke derajat tertinggi menuju kesempurnaan manusia.
Biarlah perkataan Imam Malik Rahimahullah yang sangat inidah berikut ini menutup tulisan ini. Imam malik Berkata, “Barang siapa membuat perkara baru dalam urusan umat ini yang tidak pernah berada di atasnya generasi pertama umat ini, maka ia telah mengira bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alalihi wa sallam berkhianat dalam menyampaikan risalah Allah Azza wa Jalla ini, karena Allah Azza wa Jalla telah berfirman:
“Pada hari ini telah kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah kucukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah kuridhi Islam itu menjadi agama bagimu.” (QS. Al-Maa’idah: 3)
Maka perkara-perkara yang bukan termasuk urusan agama pada waktu itu, berarti bukan termasuk urusan agama pula pada zaman sekarang ini. Keadaan akhir umat ini tidaklah menjadi baik kecuali dengan apa yang membuat generasi pertama umat ini menjadi baik.” (lihat Syarah Ushulus Sunnah Keyakinan Al-Imam Ahmad dalam Aqidah hlm 41-42 oleh Syaikh Walid bin Muhammad Nubaih, Pustaka Darul Ilmi)
Wallahu ‘alam bish-showab
Semoga Bermanfaat.
*Diringkas dari Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah (hlm 185-190) Bab kesembilan: Pilar-pilar Ibadah dalam Islam, oleh Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Pustaka Imam Asy-Syafi’i, dengan sedikit penambahan (pada bagian akhir, yakni; perkataan Imam Malik) dari kitab Syarah Ushulus Sunnah Keyakinan Al-Imam Ahmad dalam Aqidah (hlm 41-42) oleh Syaikh Walid bin Muhammad Nubaih, Pustaka Darul Ilmi.
.
Penulis: Wahyu Jatmiko
Manajemen UI – 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar