Kalau Bisa Berbicara dengan Bahasa yang Baik, kenapa Tidak?
Saudaraku, sungguh hati ini sangat miris dan sedih melihat bagaimana cara sebagian saudara-saudara kita dalam menasihati, mengomentari atau mengingatkan saudara-saudara kita yang melakukan kesalahan/kebid’ahan/kemaksiatan/kekeliruan.
saya tidak merasa paling baik, karena sayapun pernah dan mungkin masih melakukan hal itu, namun kiranya sebagai seorang muslim tiada hari kecuali harus selalu ada perbaikan, evaluasi diri serta perbaikan akhlaq dan ilmu…
ingatlah Hadist ini..
Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ صَالِحَ الْأَخْلاَقِ”
“Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” [H.R. Al-Hakim dan dinilai sahih oleh beliau, adz-Dzahabi dan al-Albani].
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah memasukkan penerapan akhlak yang mulia dalam permasalahan aqidah. Beliau berkata,
“Dan mereka (al-firqoh an-najiah ahlus sunnah wal jama’ah) menyeru kepada (penerapan) akhlak yang mulia dan amal-amal yang baik. Mereka meyakini kandungan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Yang paling sempuna imannya dari kaum mukminin adalah yang paling baik akhlaknya diantara mereka“. Dan mereka mengajakmu untuk menyambung silaturahmi dengan orang yang memutuskan silaturahmi denganmu, dan agar engkau memberi kepada orang yang tidak memberi kepadamu, engkau memaafkan orang yang berbuat zhalim kepadamu, dan ahlus sunnah wal jama’ah memerintahkan untuk berbakti kepada kedua orang tua, menyambung silaturahmi, bertetangga dengan baik, berbuat baik kepada anak-anak yatim, fakir miskin, dan para musafir, serta bersikap lembut kepada para budak. Mereka (Ahlus sunnah wal jama’ah) melarang sikap sombong dan keangkuhan, serta merlarang perbuatan dzolim dan permusuhan terhadap orang lain baik dengan sebab ataupun tanpa sebab yang benar. Mereka memerintahkan untuk berakhlak yang tinggi (mulia) dan melarang dari akhlaq yang rendah dan buruk”. [lihat Matan 'Aqiidah al-Waashithiyyah]
Lihatlah saudaraku, bahkan perkara akhlaq ini berkaitan erat dengan perkara aqidah, karena sesorang yang telah lurus aqidahnya akan baik perkara Akhlaqnya , karena sungguh hati yang murni dan bersih tidak akan menampakkan sesuatu yang kotor yaitu akhlaq yang buruk.
sebagian dari kita ketika diperingatkan perkara Akhlaq seakan dianggap tidak atau kurang penting, padahal para ulama dahulu blajar perkara Adab dan Akhlaq dulu sebelum belajar ilmu…
Imam Abdullah Ibnul Mubarak Rahimahullah (Wafat Th. 181 H) mengatakan : Aku mempelajari adab selama 36 tahun kemudian aku menuntut Ilmu selama 20 tahun , mereka mempelajari adab sebelum belajar ilmu
Imam Muhammad bin Sirrin Rahimahullah (Wafat Th. 110 H) Berkata : Mereka (Salafus Shalih) mempelajari petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (Adab) sebagaimana mereka mempelajari Ilmu
Al-Khatib al-Baghdadi Rahimahullah (Wafat Th. 467 H) Berkata : Selayaknya seorang penuntut Ilmu dan Hadits berbeda dalam semua urusannya dari cara dan perbuatan orang-orang awam, seorang penuntut ilmu dan hadits harus berusaha melaksanakan Sunnah atas dirinya”
Lihatlah bagaimana ulama salaf dalam mempelajari adab dan akhlaq, dalam waktu yang lama,,,sehingga ketika mereka telah memiliki ilmu , mereka menjadi orang berilmu yang alim, bijaksana, mudah diterima keilmuannya dan bermanfaat diantara manusia…
Sementara kita rata-rata sudah “bertaring sebelum mampu”, sehingga dengan mudah membid’ahkan , menyesatkan, mengingatkan dengan cara yang keras , maka pantaslah dakwah yang kita bawa ini dibenci atau dijauhi tersebab bukan hanya karena mereka tidak mau menerima , namun karena CARA yang dilakukan yang salah/kurang tepat…
Menurut hasil analisi saya apabila seorang penuntut ilmu tidak mempelajari adab dan akhlaq yang benar maka beberapa hal ini yang akan terjadi :
Biasanya orang yang baru ngaji akan semangat sekali ketika mendapati sesuatu yang berbeda dari ibadah yang biasa dikerjakan, semisal perkara-perkara kebid’ahan atau ke syirikan. Karena bermodal semangat yang sangat tinggi tersebab baru ngaji juga semangat ingin menyampaikan kepada keluarga yang mungkin tenggelam dalam kebid’ahan , maka kita dengan serta merta menyampaikan kepada mereka dengan cara “saklek” atau “ujug2” tanpa kita memikirkan segi maslahat dan mudharat, cara menyampaikan yang benar dll, intinya “Qulil Haq walau kaana murran, sampaikan yang benar walau itu pahit”.
Seringkali gara-gara hal ini banyak ikhwah yang baru ngaji diboykot oleh orang tuanya atau lingkungannya, dan kadang kita bukannya sadar dari kesalahan tapi merasa “Inilah Ghuraba , islam ini memang asing” padahal –sebenernya- kita yang mengasingkan diri sendiri
Nah disinilah perlunya manajemen akhlaq, sehingga dalam menyampaikan sesuatu tidak akan gegabah dan berujung pada ternodanya”imej” pengajian gara-gara akhlaq buruk yang kita lakukan.
Seringkali kita mengomentari keburukan atau maksiat yang dilakukan saudara-saudara kita masih dengan adab-adab orang awam atau dengan gaya premanisme yang saya kira tidak santun kiranya digunakan oleh orang yang mengaku berilmu., sebagai contoh :
Ketika kita menasehati saudara-saudara kita yang belum berjilbab, kita menyamakan mereka dengan kuntilanak lah, inilah itu lah, (seperti yang sering nongol di wall saya) coba kita napak tilas, kalau misalnya kita masih jahiliyyah terus didakwahi dengan cara begitu, apa kita mau nerima? Yang ada kita malah dongkol dan marah…
Ketika kita menasihati para pelaku bidah atau lainnya kita sering memplesetkan penyebutan mereka dengan kata-kata yang seakan menjadi bahan tertawaan. Contohnya penyebutan : Habibers, Rodjali, hizbiyyun??? Apabila ini diucapkan pada orang yang menjadi biang atau sesepuh dan sudah faham itu wajar mereka akan mengerti, namun ketika dikatakan pada saudara-saudara kita yang awam yang mungkin hanya ikut-ikutan karena kejahilan, apa kira-kira respon mereka? Tentunya mereka akan membenci dan menganggap buruk akhlaq kita…
Sudah termaklumi istilah ini “ AJARKANLAH UMAT AQIDAH DAN AJARKAN SALAFY AKHLAQ”
Kita seringkali me-Negatifkan Sesuatu yang datang dari saudara kita yang sebenarnya positif, dengan alasan “ banyak syubhatnya” dll,,,dan mengumumkan hal itu dengan bahasa yang kurang santun, padahal yang menjadi penikmatnya adalah orang-orang awam yang bahkan maksud syubhat aja mereka ga mudheng , tentang ini semisal tanggapan beberapa ikhwah tentang Mario teguh dan Ainun Habibie, saya sudah pernah mengulasnya.
Semoga bisa menjadi bahan renungan dan perbaikan bersama , saya hanya ingin salafiyyin ini menjadi Icon untuk kebaikan akhlaq dan keluhuran ilmu karena memang sungguh begiitulah mereka para shalafusshalih…
Mohon kritikan membangun dan masukan dari saudara-saudaraku semua, sayapun terlampau banyak salah,,,semoga kita menjadi lebih baik
Penulis: Ummu ‘Abdillaah
FKM UI – 2010
Tuesday, 8 January 2013
Artikel www.mahasiswamuslim.com
Mengambil beberapa nukilan dari :
http://dareliman.or.id/2012/02/13/ahlussunnah-dalam-memberi-nasehat/
http://muslim.or.id/akhlaq-dan-nasehat/sudah-lama-%E2%80%9Cngaji%E2%80%9D-tetapi-akhlak-tidak-baik.html
Saudaraku, sungguh hati ini sangat miris dan sedih melihat bagaimana cara sebagian saudara-saudara kita dalam menasihati, mengomentari atau mengingatkan saudara-saudara kita yang melakukan kesalahan/kebid’ahan/kemaksiatan/kekeliruan.
saya tidak merasa paling baik, karena sayapun pernah dan mungkin masih melakukan hal itu, namun kiranya sebagai seorang muslim tiada hari kecuali harus selalu ada perbaikan, evaluasi diri serta perbaikan akhlaq dan ilmu…
ingatlah Hadist ini..
Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ صَالِحَ الْأَخْلاَقِ”
“Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” [H.R. Al-Hakim dan dinilai sahih oleh beliau, adz-Dzahabi dan al-Albani].
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah memasukkan penerapan akhlak yang mulia dalam permasalahan aqidah. Beliau berkata,
“Dan mereka (al-firqoh an-najiah ahlus sunnah wal jama’ah) menyeru kepada (penerapan) akhlak yang mulia dan amal-amal yang baik. Mereka meyakini kandungan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Yang paling sempuna imannya dari kaum mukminin adalah yang paling baik akhlaknya diantara mereka“. Dan mereka mengajakmu untuk menyambung silaturahmi dengan orang yang memutuskan silaturahmi denganmu, dan agar engkau memberi kepada orang yang tidak memberi kepadamu, engkau memaafkan orang yang berbuat zhalim kepadamu, dan ahlus sunnah wal jama’ah memerintahkan untuk berbakti kepada kedua orang tua, menyambung silaturahmi, bertetangga dengan baik, berbuat baik kepada anak-anak yatim, fakir miskin, dan para musafir, serta bersikap lembut kepada para budak. Mereka (Ahlus sunnah wal jama’ah) melarang sikap sombong dan keangkuhan, serta merlarang perbuatan dzolim dan permusuhan terhadap orang lain baik dengan sebab ataupun tanpa sebab yang benar. Mereka memerintahkan untuk berakhlak yang tinggi (mulia) dan melarang dari akhlaq yang rendah dan buruk”. [lihat Matan 'Aqiidah al-Waashithiyyah]
Lihatlah saudaraku, bahkan perkara akhlaq ini berkaitan erat dengan perkara aqidah, karena sesorang yang telah lurus aqidahnya akan baik perkara Akhlaqnya , karena sungguh hati yang murni dan bersih tidak akan menampakkan sesuatu yang kotor yaitu akhlaq yang buruk.
sebagian dari kita ketika diperingatkan perkara Akhlaq seakan dianggap tidak atau kurang penting, padahal para ulama dahulu blajar perkara Adab dan Akhlaq dulu sebelum belajar ilmu…
Imam Abdullah Ibnul Mubarak Rahimahullah (Wafat Th. 181 H) mengatakan : Aku mempelajari adab selama 36 tahun kemudian aku menuntut Ilmu selama 20 tahun , mereka mempelajari adab sebelum belajar ilmu
Imam Muhammad bin Sirrin Rahimahullah (Wafat Th. 110 H) Berkata : Mereka (Salafus Shalih) mempelajari petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (Adab) sebagaimana mereka mempelajari Ilmu
Al-Khatib al-Baghdadi Rahimahullah (Wafat Th. 467 H) Berkata : Selayaknya seorang penuntut Ilmu dan Hadits berbeda dalam semua urusannya dari cara dan perbuatan orang-orang awam, seorang penuntut ilmu dan hadits harus berusaha melaksanakan Sunnah atas dirinya”
Lihatlah bagaimana ulama salaf dalam mempelajari adab dan akhlaq, dalam waktu yang lama,,,sehingga ketika mereka telah memiliki ilmu , mereka menjadi orang berilmu yang alim, bijaksana, mudah diterima keilmuannya dan bermanfaat diantara manusia…
Sementara kita rata-rata sudah “bertaring sebelum mampu”, sehingga dengan mudah membid’ahkan , menyesatkan, mengingatkan dengan cara yang keras , maka pantaslah dakwah yang kita bawa ini dibenci atau dijauhi tersebab bukan hanya karena mereka tidak mau menerima , namun karena CARA yang dilakukan yang salah/kurang tepat…
Menurut hasil analisi saya apabila seorang penuntut ilmu tidak mempelajari adab dan akhlaq yang benar maka beberapa hal ini yang akan terjadi :
Biasanya orang yang baru ngaji akan semangat sekali ketika mendapati sesuatu yang berbeda dari ibadah yang biasa dikerjakan, semisal perkara-perkara kebid’ahan atau ke syirikan. Karena bermodal semangat yang sangat tinggi tersebab baru ngaji juga semangat ingin menyampaikan kepada keluarga yang mungkin tenggelam dalam kebid’ahan , maka kita dengan serta merta menyampaikan kepada mereka dengan cara “saklek” atau “ujug2” tanpa kita memikirkan segi maslahat dan mudharat, cara menyampaikan yang benar dll, intinya “Qulil Haq walau kaana murran, sampaikan yang benar walau itu pahit”.
Seringkali gara-gara hal ini banyak ikhwah yang baru ngaji diboykot oleh orang tuanya atau lingkungannya, dan kadang kita bukannya sadar dari kesalahan tapi merasa “Inilah Ghuraba , islam ini memang asing” padahal –sebenernya- kita yang mengasingkan diri sendiri
Nah disinilah perlunya manajemen akhlaq, sehingga dalam menyampaikan sesuatu tidak akan gegabah dan berujung pada ternodanya”imej” pengajian gara-gara akhlaq buruk yang kita lakukan.
Seringkali kita mengomentari keburukan atau maksiat yang dilakukan saudara-saudara kita masih dengan adab-adab orang awam atau dengan gaya premanisme yang saya kira tidak santun kiranya digunakan oleh orang yang mengaku berilmu., sebagai contoh :
Ketika kita menasehati saudara-saudara kita yang belum berjilbab, kita menyamakan mereka dengan kuntilanak lah, inilah itu lah, (seperti yang sering nongol di wall saya) coba kita napak tilas, kalau misalnya kita masih jahiliyyah terus didakwahi dengan cara begitu, apa kita mau nerima? Yang ada kita malah dongkol dan marah…
Ketika kita menasihati para pelaku bidah atau lainnya kita sering memplesetkan penyebutan mereka dengan kata-kata yang seakan menjadi bahan tertawaan. Contohnya penyebutan : Habibers, Rodjali, hizbiyyun??? Apabila ini diucapkan pada orang yang menjadi biang atau sesepuh dan sudah faham itu wajar mereka akan mengerti, namun ketika dikatakan pada saudara-saudara kita yang awam yang mungkin hanya ikut-ikutan karena kejahilan, apa kira-kira respon mereka? Tentunya mereka akan membenci dan menganggap buruk akhlaq kita…
Sudah termaklumi istilah ini “ AJARKANLAH UMAT AQIDAH DAN AJARKAN SALAFY AKHLAQ”
Kita seringkali me-Negatifkan Sesuatu yang datang dari saudara kita yang sebenarnya positif, dengan alasan “ banyak syubhatnya” dll,,,dan mengumumkan hal itu dengan bahasa yang kurang santun, padahal yang menjadi penikmatnya adalah orang-orang awam yang bahkan maksud syubhat aja mereka ga mudheng , tentang ini semisal tanggapan beberapa ikhwah tentang Mario teguh dan Ainun Habibie, saya sudah pernah mengulasnya.
Semoga bisa menjadi bahan renungan dan perbaikan bersama , saya hanya ingin salafiyyin ini menjadi Icon untuk kebaikan akhlaq dan keluhuran ilmu karena memang sungguh begiitulah mereka para shalafusshalih…
Mohon kritikan membangun dan masukan dari saudara-saudaraku semua, sayapun terlampau banyak salah,,,semoga kita menjadi lebih baik
Penulis: Ummu ‘Abdillaah
FKM UI – 2010
Tuesday, 8 January 2013
Artikel www.mahasiswamuslim.com
Mengambil beberapa nukilan dari :
http://dareliman.or.id/2012/02/13/ahlussunnah-dalam-memberi-nasehat/
http://muslim.or.id/akhlaq-dan-nasehat/sudah-lama-%E2%80%9Cngaji%E2%80%9D-tetapi-akhlak-tidak-baik.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar