“Assalamu’alaikum. Greget, ada email buat kamu. Dibaca pas kamu lagi sendirian aja, ya.”
Sebuah pesan singkat menjelang petang beberapa bulan lalu. Dengan penuh rasa penasaran, aku coba membuka surat elektronik yang ia maksud. Awalnya, hati ini bergejolak, menerka apa yang ingin diutarakannya hingga harus melalui surat dan menunggu di saat diri ini tengah sendiri. Ternyata, inti surat itu adalah ungkapan perasaan cinta yang selama ini dipendamnya. Hingga detik ini, berjuta tanya masih berkecamuk dalam dada. Mengapa ia melakukannya? Mengingat selama ini kami berteman dengan baik sesuai aturan ajaran yang diyakini.
Inilah ilustrasi nyata dari sekian banyak potret pergaulan dan percintaan anak manusia yang berkelana mencari cinta. Suatu masa di mana cinta menjadi jawaban pembenaran segala perkara, sekalipun yang dilarang. Banyak toleransi yang tidak masuk akal lantaran cinta yang menjadi dasar. Berdalih perasaan cinta, seorang wanita rela menanggalkan harga diri dan seorang pria dengan bangga menutupi jati diri. Itukah makna cinta yang sebenarnya? Cinta yang setiap orang memiliki definisi tersendiri sehingga sulit ditentukan batasannya. Cinta yang mampu melalaikan manusia dari kodratnya sebagai insan di dunia.
Di tengah hiruk-pikuk kehidupan dunia yang kian jauh dari agama, manusia dihadapkan pada realita hegemoni barat, salah satunya pola pikir jalinan cinta lawan jenis. Ketika lawan jenis menarik hati, rata-rata orang mengasumsikannya dengan sebuah hubungan tidak resmi — jika tidak ingin mengatakannya ilegal — yang disebut dengan pacaran. Istilah pacaran didengungkan di banyak interaksi sosial. Pacaran dikonotasikan sebagai sebuah proses pembelajaran mengenal karakter dan kepribadian. Itulah argumen yang kerap kali dijadikan alasan para orang tua membenarkan perilaku putra-putrinya berpacaran. Namun, sadarkah bahwa hubungan pacaran yang terjadi saat ini sangatlah jauh dari apa yang disebut dengan belajar. Apakah semua hal di dunia ini, terlebih hubungan sosial, harus selalu diawali dengan belajar? Apakah untuk mencintai ayah dan ibu kita juga harus belajar? Bukankah itu timbul dengan sendirinya? Apakah suami istri dalam memenuhi kebutuhan biologisnya juga harus melalui tahapan belajar terlebih dulu yang artinya sebelum menikah mereka sudah harus pernah melakukannya? Tentu tidak.
Lantas, apa esensi cinta dan pacaran sesungguhnya?
Mulanya, dua insan berkomitmen berada dalam lingkaran guna menghindari hal-hal yang tidak dikehendaki. Padahal, mereka sendiri tidak memahami lingkaran yang dimaksud. Mereka yang berpacaran kemungkinan besar tidak mendapatkan pemahaman yang baik tentang bagaimana agama mengatur hubungan lawan jenis. Akibatnya, lingkaran yang disebut sebagai pengaman hanya seluas pengetahuan mereka. Analoginya, banyak orang menyebut suatu hal out of the box. Bagaimana mungkin menilai apakah suatu hal out of the box atau tidak jika tidak pernah memahami dan berada dalam box tersebut?
Mari kita renungkan, bagaimana Islam sebagai agama yang menyeluruh mengatur hubungan antarmanusia, diantaranya ketika seseorang merasakan getaran cinta. Sebab, realita masyarakat dalam mengejawantahkan perasaan cinta selama ini masih perlu dipertanyakan. Oleh sebab itu, setiap muslim berkewajiban mendakwahkan ajaran Islam, termasuk pemaknaan cinta dalam kehidupan.
#Hakikat Cinta dalam Islam
Perasaan cinta manusia adalah fitrah. Setiap manusia dilahirkan dengan penuh cinta. Seorang anak lahir sebagai buah cinta kedua orang tuanya. Dalam ajaran Islam, cinta merupakan kebutuhan yang tidak akan menyebabkan kematian ketika kebutuhan tersebut belum terpenuhi. Inilah yang disebut dengan naluri atau gharizah. Cinta termasuk dalam gharizatun nau’, yakni naluri untuk mengembangkan dan melestarikan jenisnya. Bentuk dari sebuah naluri bisa berupa rasa sayang kepada ibu, saudara, teman atau rasa cinta kepada lawan jenis.
Dalam kitab Al-Hikam, karya Ibnu Atha’illah As-Sakandari tertulis, “Tidak ada yang bisa mengusir syahwat atau kecintaan pada kesenangan duniawi selain rasa takut kepada Allah yang menggetarkan hati, atau rasa rindu kepada Allah yang membuat hati merana!” Dijelaskan bahwa hampir semua orang yang jatuh cinta merasakan syahwat. Perasaan seperti itu tidak akan bisa dikeluarkan dari hati kecuali jika memiliki dua hal. Pertama, rasa cinta kepada Allah yang luar biasa yang menggetarkan hati sehingga ketika yang ada di hati adalah Allah, yang lain dengan sendirinya menjadi kecil dan terusir. Kedua, rasa rindu kepada Allah yang dahsyat sampai hati merasa merana. Jika seseorang merasa merana karena rindu kepada Allah, ia tidak mungkin merana karena rindu pada yang lain. Jika ia sudah sibuk memikirkan Allah, ia tidak akan sibuk memikirkan yang lain.
Sesungguhnya, cinta tertinggi adalah cinta kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Cinta sejati tidak akan menyakiti dan mampu menerima sang penarik hati apa adanya. Sebab, cinta sejati berlandaskan cinta seorang hamba kepada Allah. Cintanya pada lawan jenis tidak melebihi cintanya pada Allah. Implikasinya, cinta seorang pria kepada wanita tidak akan menjadikannya melanggar aturan Allah, pacaran misalnya. Allah tetap dijadikan tumpuan segalanya dan tempat mencurahkan isi hati sehingga apapun keadaannya, ia senantiasa menerima ketentuan Allah. Inilah jawaban atas keraguan terhadap proses ta’aruf sebelum menikah yang jauh berbeda dari pacaran. Ketika mereka mempertanyakan bagaimana konsekuensi ketidakcocokan hati terhadap pasangan setelah menikah jika tanpa pacaran, kembalikan pada makna keikhlasan dan cinta akan Allah. Tertulis dalam Al-Qur’an Surat An-Nur (24) : 26, “Wanita-wanita yang keji untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji untuk wanita-wanita yang keji (pula), sedangkan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka itu bersih dari apa yang dituduhkan orang. Mereka memperoleh ampunan dan rezeki yang mulia (surga).” Sangat jelas bahwa Allah telah menyiapkan pasangan yang terbaik bagi setiap manusia.
#Bijaknya Pribadi Menyikapi Datangnya Cinta
Setiap pemuda berharap cintanya jatuh pada wanita sholehah dan sebaliknya. Akan tetapi, kadang mereka tidak siap ketika hatinya tergetar lantaran sang pujaan berada di depan mata. Banyak yang gegabah mengambil sikap saat hati mulai merasakan perasaan yang berbeda. Akibatnya, diri ini lepas kendali. Ingat, cinta yang sebenarnya adalah cinta yang diturunkan Allah setelah ijab kabul. Sebelum itu, nafsu dan posesivitaslah yang bermain. Indikatornya ada pada rasa malu. Semakin bergelora nafsu manusia, semakin tidak ada rasa malu dalam dirinya.
Islam tidak melarang seseorang menaruh hati pada lawan jenisnya. Hanya bagaimana ia mengelola perasaannya itu guna mendekatkan diri pada Allah. Pernyataan cinta yang dilontarkan seorang pria kepada wanita sholehah tanpa adanya ikatan apapun justru mengakibatkan penyesalan dan rasa sakit hati bagi pihak wanita. Hal itu dikarenakan sang wanita merasa tidak mampu menjaga kehormatan dirinya kendati telah mengenakan jilbab yang sesuai dengan syariah. Bagi seorang pria, mungkin lebih sulit menahan gejolak rasa. Akan tetapi, hal itu bukan berarti mustahil untuk menjauhi godaan nafsu seperti sabda nabi yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari,“Wahai generasi muda, barang siapa di antara kalian telah mampu menikah, maka segeralah menikah karena sesungguhnya menikah itu lebih menjaga kemaluan dan memelihara pandangan mata. Barang siapa yang belum mampu, maka hendaklah berpuasa karena puasa menjadi benteng (dari gejolak birahi).” Selain itu, nabi pun pernah bersabda yang diriwayatkan oleh Thabarany,”Hendaklah kita benar-benar memejakamkan mata dan memelihara kemaluan, atau benar-benar Allah akan menutup rapat matamu.” Selama ini, sulitnya menahan pandangan sering kali menjadi alasan manusia untuk memperoleh pemakluman atas perangainya. Padahal, mereka tidak sadar betapa bahayanya ketika mata ini senantiasa tidak terjaga seperti diriwayatkan oleh Thabarany dan Al-Hakim, “Lirikan mata merupakan anak panah yang beracun dari setan, barang siapa meninggalkan karena takut kepada-Ku, maka Aku akan menggantikannya dengan iman sempurna hingga ia dapat merasakan arti kemanisannya dalam hati.”
Penekanannya ada pada pengendalian diri dan keimanan seseorang. Hamba yang memaknai cinta sebagai fitrah manusia akan mampu menempatkannya sebagai jalan kebaikan yang menjaga kehormatan dengan menjaga pandangan, tidak berdua-duaan dengan yang bukan muhrimnya, dan menjauhi segala bentuk perzinahan. Jangan biarkan cinta menjadikan diri ini buta dan tuli. Sebab, tidak semua yang didamba manusia pasti diraihnya. Cinta dalam Islam adalah cinta yang mampu menyembuhkan bukan menyakiti.
Sebuah pesan singkat menjelang petang beberapa bulan lalu. Dengan penuh rasa penasaran, aku coba membuka surat elektronik yang ia maksud. Awalnya, hati ini bergejolak, menerka apa yang ingin diutarakannya hingga harus melalui surat dan menunggu di saat diri ini tengah sendiri. Ternyata, inti surat itu adalah ungkapan perasaan cinta yang selama ini dipendamnya. Hingga detik ini, berjuta tanya masih berkecamuk dalam dada. Mengapa ia melakukannya? Mengingat selama ini kami berteman dengan baik sesuai aturan ajaran yang diyakini.
Inilah ilustrasi nyata dari sekian banyak potret pergaulan dan percintaan anak manusia yang berkelana mencari cinta. Suatu masa di mana cinta menjadi jawaban pembenaran segala perkara, sekalipun yang dilarang. Banyak toleransi yang tidak masuk akal lantaran cinta yang menjadi dasar. Berdalih perasaan cinta, seorang wanita rela menanggalkan harga diri dan seorang pria dengan bangga menutupi jati diri. Itukah makna cinta yang sebenarnya? Cinta yang setiap orang memiliki definisi tersendiri sehingga sulit ditentukan batasannya. Cinta yang mampu melalaikan manusia dari kodratnya sebagai insan di dunia.
Di tengah hiruk-pikuk kehidupan dunia yang kian jauh dari agama, manusia dihadapkan pada realita hegemoni barat, salah satunya pola pikir jalinan cinta lawan jenis. Ketika lawan jenis menarik hati, rata-rata orang mengasumsikannya dengan sebuah hubungan tidak resmi — jika tidak ingin mengatakannya ilegal — yang disebut dengan pacaran. Istilah pacaran didengungkan di banyak interaksi sosial. Pacaran dikonotasikan sebagai sebuah proses pembelajaran mengenal karakter dan kepribadian. Itulah argumen yang kerap kali dijadikan alasan para orang tua membenarkan perilaku putra-putrinya berpacaran. Namun, sadarkah bahwa hubungan pacaran yang terjadi saat ini sangatlah jauh dari apa yang disebut dengan belajar. Apakah semua hal di dunia ini, terlebih hubungan sosial, harus selalu diawali dengan belajar? Apakah untuk mencintai ayah dan ibu kita juga harus belajar? Bukankah itu timbul dengan sendirinya? Apakah suami istri dalam memenuhi kebutuhan biologisnya juga harus melalui tahapan belajar terlebih dulu yang artinya sebelum menikah mereka sudah harus pernah melakukannya? Tentu tidak.
Lantas, apa esensi cinta dan pacaran sesungguhnya?
Mulanya, dua insan berkomitmen berada dalam lingkaran guna menghindari hal-hal yang tidak dikehendaki. Padahal, mereka sendiri tidak memahami lingkaran yang dimaksud. Mereka yang berpacaran kemungkinan besar tidak mendapatkan pemahaman yang baik tentang bagaimana agama mengatur hubungan lawan jenis. Akibatnya, lingkaran yang disebut sebagai pengaman hanya seluas pengetahuan mereka. Analoginya, banyak orang menyebut suatu hal out of the box. Bagaimana mungkin menilai apakah suatu hal out of the box atau tidak jika tidak pernah memahami dan berada dalam box tersebut?
Mari kita renungkan, bagaimana Islam sebagai agama yang menyeluruh mengatur hubungan antarmanusia, diantaranya ketika seseorang merasakan getaran cinta. Sebab, realita masyarakat dalam mengejawantahkan perasaan cinta selama ini masih perlu dipertanyakan. Oleh sebab itu, setiap muslim berkewajiban mendakwahkan ajaran Islam, termasuk pemaknaan cinta dalam kehidupan.
#Hakikat Cinta dalam Islam
Perasaan cinta manusia adalah fitrah. Setiap manusia dilahirkan dengan penuh cinta. Seorang anak lahir sebagai buah cinta kedua orang tuanya. Dalam ajaran Islam, cinta merupakan kebutuhan yang tidak akan menyebabkan kematian ketika kebutuhan tersebut belum terpenuhi. Inilah yang disebut dengan naluri atau gharizah. Cinta termasuk dalam gharizatun nau’, yakni naluri untuk mengembangkan dan melestarikan jenisnya. Bentuk dari sebuah naluri bisa berupa rasa sayang kepada ibu, saudara, teman atau rasa cinta kepada lawan jenis.
Dalam kitab Al-Hikam, karya Ibnu Atha’illah As-Sakandari tertulis, “Tidak ada yang bisa mengusir syahwat atau kecintaan pada kesenangan duniawi selain rasa takut kepada Allah yang menggetarkan hati, atau rasa rindu kepada Allah yang membuat hati merana!” Dijelaskan bahwa hampir semua orang yang jatuh cinta merasakan syahwat. Perasaan seperti itu tidak akan bisa dikeluarkan dari hati kecuali jika memiliki dua hal. Pertama, rasa cinta kepada Allah yang luar biasa yang menggetarkan hati sehingga ketika yang ada di hati adalah Allah, yang lain dengan sendirinya menjadi kecil dan terusir. Kedua, rasa rindu kepada Allah yang dahsyat sampai hati merasa merana. Jika seseorang merasa merana karena rindu kepada Allah, ia tidak mungkin merana karena rindu pada yang lain. Jika ia sudah sibuk memikirkan Allah, ia tidak akan sibuk memikirkan yang lain.
Sesungguhnya, cinta tertinggi adalah cinta kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Cinta sejati tidak akan menyakiti dan mampu menerima sang penarik hati apa adanya. Sebab, cinta sejati berlandaskan cinta seorang hamba kepada Allah. Cintanya pada lawan jenis tidak melebihi cintanya pada Allah. Implikasinya, cinta seorang pria kepada wanita tidak akan menjadikannya melanggar aturan Allah, pacaran misalnya. Allah tetap dijadikan tumpuan segalanya dan tempat mencurahkan isi hati sehingga apapun keadaannya, ia senantiasa menerima ketentuan Allah. Inilah jawaban atas keraguan terhadap proses ta’aruf sebelum menikah yang jauh berbeda dari pacaran. Ketika mereka mempertanyakan bagaimana konsekuensi ketidakcocokan hati terhadap pasangan setelah menikah jika tanpa pacaran, kembalikan pada makna keikhlasan dan cinta akan Allah. Tertulis dalam Al-Qur’an Surat An-Nur (24) : 26, “Wanita-wanita yang keji untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji untuk wanita-wanita yang keji (pula), sedangkan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka itu bersih dari apa yang dituduhkan orang. Mereka memperoleh ampunan dan rezeki yang mulia (surga).” Sangat jelas bahwa Allah telah menyiapkan pasangan yang terbaik bagi setiap manusia.
#Bijaknya Pribadi Menyikapi Datangnya Cinta
Setiap pemuda berharap cintanya jatuh pada wanita sholehah dan sebaliknya. Akan tetapi, kadang mereka tidak siap ketika hatinya tergetar lantaran sang pujaan berada di depan mata. Banyak yang gegabah mengambil sikap saat hati mulai merasakan perasaan yang berbeda. Akibatnya, diri ini lepas kendali. Ingat, cinta yang sebenarnya adalah cinta yang diturunkan Allah setelah ijab kabul. Sebelum itu, nafsu dan posesivitaslah yang bermain. Indikatornya ada pada rasa malu. Semakin bergelora nafsu manusia, semakin tidak ada rasa malu dalam dirinya.
Islam tidak melarang seseorang menaruh hati pada lawan jenisnya. Hanya bagaimana ia mengelola perasaannya itu guna mendekatkan diri pada Allah. Pernyataan cinta yang dilontarkan seorang pria kepada wanita sholehah tanpa adanya ikatan apapun justru mengakibatkan penyesalan dan rasa sakit hati bagi pihak wanita. Hal itu dikarenakan sang wanita merasa tidak mampu menjaga kehormatan dirinya kendati telah mengenakan jilbab yang sesuai dengan syariah. Bagi seorang pria, mungkin lebih sulit menahan gejolak rasa. Akan tetapi, hal itu bukan berarti mustahil untuk menjauhi godaan nafsu seperti sabda nabi yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari,“Wahai generasi muda, barang siapa di antara kalian telah mampu menikah, maka segeralah menikah karena sesungguhnya menikah itu lebih menjaga kemaluan dan memelihara pandangan mata. Barang siapa yang belum mampu, maka hendaklah berpuasa karena puasa menjadi benteng (dari gejolak birahi).” Selain itu, nabi pun pernah bersabda yang diriwayatkan oleh Thabarany,”Hendaklah kita benar-benar memejakamkan mata dan memelihara kemaluan, atau benar-benar Allah akan menutup rapat matamu.” Selama ini, sulitnya menahan pandangan sering kali menjadi alasan manusia untuk memperoleh pemakluman atas perangainya. Padahal, mereka tidak sadar betapa bahayanya ketika mata ini senantiasa tidak terjaga seperti diriwayatkan oleh Thabarany dan Al-Hakim, “Lirikan mata merupakan anak panah yang beracun dari setan, barang siapa meninggalkan karena takut kepada-Ku, maka Aku akan menggantikannya dengan iman sempurna hingga ia dapat merasakan arti kemanisannya dalam hati.”
Penekanannya ada pada pengendalian diri dan keimanan seseorang. Hamba yang memaknai cinta sebagai fitrah manusia akan mampu menempatkannya sebagai jalan kebaikan yang menjaga kehormatan dengan menjaga pandangan, tidak berdua-duaan dengan yang bukan muhrimnya, dan menjauhi segala bentuk perzinahan. Jangan biarkan cinta menjadikan diri ini buta dan tuli. Sebab, tidak semua yang didamba manusia pasti diraihnya. Cinta dalam Islam adalah cinta yang mampu menyembuhkan bukan menyakiti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar